Thursday, May 14, 2020

Puasa Ramadhan Tidak Menghapus Dosa







Penulis : Ahmad Dahlan
Tanggal : 4 September 2009

17. Sesungguhnya Taubat di sisi Allah hanyalah Taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan [277], yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Nisa (4) : 17)

[277] Maksudnya ialah: 1) Orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. 2) Orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. 3) Orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu (Lihat : Soenarjo dkk, al-Qur'an dan Terjemahannya, Depag RI hlm 322)

Apakah Puasa Ramadhan dapat menghapus dosa-dosa ?

Menurut pemahaman tekstual terhadap Hadits muttafaq 'alaih berikut memang puasa Ramadhan dapat menghapus dosa : "Barang siapa mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka diampunilah dosa-dosanya". Akan tetapi jika Hadits ini difahami dengan pemahaman kebahasaan (Ilmiah), misalnya memperhatikan kata yang tertuang didalamnya yaitu kata : "min dzambin" maka kita akan memaknai kata "min" berposisi arti sebagai "min li tab'idh" ("min" bermakna "sebagian") sehubungan kata "dzambin" bukankah isim makan dan secara makna atas rangkaian kata antara yang satu dengan yang lain pada Hadist tersebut (siaq al-kalam), serta aspek munasabah Hadist dengan ayat 17 dari al-Nisa (Lihat : Mushthafa Ghulayain, Jami' al-Durus, juz 3, hlm 120). Sehingga kata "min dzambin" mempunyai arti : "sebagian dosa". Jadi makna lengkap Hadist tersebut adalah : "Barang siapa mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan diampunilah ia sebagian dari dosa-dosanya".

Hadist ini dengan pemahaman pendekatan bahasa menjadi mendukung ayat tadi bahwa perbuatan buruk yang disengaja tidak di ampuni Allah. Orang yang berpuasa yang memang ia mempunyai latar kelakuan buruk yang disengaja tidaklah oleh puasanya menjadikan dosanya terhapus . Kendatipun Hadist tersebut secara eksplisit menerangkan puasa Ramadhan yang didirikan dengan penuh keimanan dan keikhlasan dapat menghapus dosa, tetapi sesungguhnya dosa atas perbuatan buruk yang disengaja tidaklah terhapus oleh puasa Ramadhan.

Seiring dengan Hadist ini adalah Hadist muslim yang menyatakan : "Shalat lima waktu yang dilakukan secara terus-menerus berbarengan dengan pelaksanaan sholat Jum'at dan puasa Ramadhan yang dilakukan secara terus menerus pula dapat menghapus dosa-dosa kecuali dosa besar." Hadist yang disebut kedua ini dalam pemahaman penulis menyatakan, "sekalipun seseorang tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan shalat Jum'at juga puasa Ramadhan tidak menjaminnya akan terhapusnya dosa besar yang pernah ia lakukan." Artinya tidaklah puasa Ramadhan itu memang menjamin penghapusan seluruh dosa.

Bagaimanakah jika pemahaman atau kesimpulan ini jika dikaitkan dengan firman Allah : "Innallaha ghafurun rahim ?" Perlu diketahui bahwa menurut al-Zarkasyi bahwa ayat - ayat al-Qur'an itu yufashilu ba'dhuhu ba'dhan : Antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya adalah saling menjelaskan. Maksudnya suatu ayat tidak harus ditafsirkan oleh ayat berikutnya, tetapi bisa saja ditafsirkan oleh ayat sebelumnya. Fenomena ini adalah merupakan salah satu i'jaz al-Qur'an (Lihat : Mabahits Fiy 'Ulum al-Qur'an Juz 2 hlm 42).

Jadi penggalan ayat "ghafurun rahim" maknanya bsia telah dibatasi misalnya oleh QS. Al-Nisa (4) ayat 17 sebagai berikut. Memang Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, tetapi yang diampuni Allah adalah dosa-dosa yang terbentuk bukan oleh kesengajaan. Bahkan, tanpa harus perpegang pada prinsip metode tafsir "yufashilu ba'dhuhu ba'dhan" pun, penggalan ayat "ghafurun rahim" sebenarnya bermakna tidak mutlak bahwa Allah itu Maha Pengampun. Suatu bukti dinyatakan bahwa Allah tidak menerima seseorang yang kematiannya dalam keadaan bukan Islam (wala tamutunna illa wa antum muslimun). Ini artinya bila seseorang meninggal dalam keadaaan tidak Islam tidaklah diampuni Allah.

Lalu bagaimanakah posisi ayat : "Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyiat"
(Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu dapat menghapus keburukan-keburukan)?.

Pemahaman tekstual terhadap ayat ini mempunyai implikasi yang secara psikologis dan sosiologis tidak baik. Karena oleh ayat ini seseorang menjadi bisa saja berbuat buruk dengan mengulang-ulang seiring setiap keburukan akan dapat terhapus oleh kebaikan yang ia lakukan. Seseorang menjadi seperti mempercayai adanya penghapusan dosa dalam teologi Islam. Hal ini bsai jadi implikasi religiusnya adalah bahwa seseorang dibuat tidak konsisten dalam ketaatan beragama. Oleh Karena itu ayat yang disebut terakhir menurut saya pemahamannya akan lebih proporsional bila didekati oleh pola takwil. Ayat "Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyiat" harus diartikan bahwa janganlah kehidupan itu isinya hanya satu keburukan belaka tetapi hendaknya dibarengi oleh kebaikan-kebaikan. Dalam kata lain, sedapat mungkin kehidupan seseorang itu lebih banyak perilaku baiknya ketimbang perilaku buruknya. Sehingga kebaikannya yang banyak itu dapat mengalahkan keburukannya.

Lalu bagaimanakah posisi pelaksanaan Ramadhan bila ia difahami bahwa ia tidak dapat menghapus setiap dosa ? Menurut penulis Ramadhan hendaklah dijalani sebagai langkah mengumpulkan kebaikan, bukan diniati untuk menghapus dosa.

0 comments:

Post a Comment